CHAPTER ONE
Bab I
Surabaya, awal 2000
Aku terbangun dan mendapatkan laki-laki itu sudah berada di sebelahku.
Wajahnya yang berwibawa tampak semakin tua dengan kerutan-kerutan yang
menghias dahinya. Sekejap perasaan kasihan dan sayang merasuki hatiku,
namun kebencian yang mendadak menyusul membuat perasaan itu hilang
seketika. Yang kulihat di sebelahku beberapa saat kemudian hanyalah
seorang tua yang kotor dan sama sekali tidak berperikemanusiaan. Aku
membencinya. Sungguh-sungguh membencinya, sampai aku ingin membunuhnya
saat itu juga. Seandainya hati dan tangan ini mampu.
“Kamu baik-baik saja. Maafkan saya.”
Maafkan?
Kupandangi setiap gerakan bibirnya saat berucap. Maaf apalagi yang
kauharapkan dariku? Kurangkah kepasrahanku selama ini sebagai bukti
maafku padamu? Aku tak sanggup memandang matanya. Tidak sekarang.
Kupejamkan mataku dan kugigit bibir bawahku. Air mata ini tak boleh
keluar sekarang.
Dari balik selimut putih kuraba bekas jahitan di bawah perutku. Inikah yang kau ingin kumaafkan?
Aku memaafkanmu saat menyetubuhiku.
Berulang-ulang, bukan hanya sekali. Sampai adikku meringkuk di rahimku. Adikku. Tidakkah kau sadar itu iblis tua?
Adikku. Siapa lagi?
Yang akhirnya kurasa lebih bernasib mujur karena tak pernah mempunyai
kesempatan untuk mencicipi getir kehidupan seperti adanya diriku.
Dan sekarang kamu masih ingin aku memaafkanmu?
Ya, kumaafkan kamu.
Papa.
Bab II
Aku merasakan pandangannya. Aku merasakan air liur yang tertelan di tenggorokannya saat melihat ketelanjanganku.
“Thomas. Keluar.”
Aku membenci seringai di wajahnya. Kubalikkan tubuhku dan mengenakan kausku sebelum seringai itu benar-benar membuatku menjerit.
“Kamu melakukan itu dengannya, kan?”
Dan sekarang bisikan itu begitu dekat di telingaku, membuat seluruh bulu di tengkukku berdiri.
“Apa-apaan kamu!”
Kubalikkan tubuhku tapi tangannya sudah menggenggam pergelanganku.
Wajahnya menempel di sisi wajahku dan menelusurinya. Dapat kurasakan
nafasnya yang berbau alkohol menyapu saraf-saraf pennciumanku.
“Ya. Kan?” dan sekarang ia sudah mendesis di depan bibirku.
Kurenggut tanganku dan kutempeleng wajah adikkku, membuatnya sedikit terhuyung lalu terjatuh. Dan ia hanya tertawa.
“Pelacur.”
Thomas menyumpah sebelum meninggalkan kamarku sambil mengelus pipinya yang memerah.
Pelacur.
Memang aku seorang pelacur.
Kuhempaskan tubuhku di atas tempat tidur dan kubenamkan wajahku di
bantal. Kubiarkan air mataku mengalir lepas dan membasahi semua yang
bisa dibasahi. Kudekatkan cincin emas di jari manisku kebibir dan
mengecupnya sambil terisak.
“Aku… kini… seorang pelacur.”
*
“Ke mana Thomas?”
“Mboten ngertos, nDoro.” Mbok Ijah hanya bisa menunduk-nunduk sambil
menatap lewat matanya yang sudah menua. Laki-laki itu mengalihkan
pandangannya padaku dan mencoba mencari sebuah jawaban. Kumasukkan
sendok itu kemulutku, masih berusaha menikmati makanan yang mendadak
menjadi pahit.
“Aku juga tidak tahu.”
Lelaki itu menghela nafasnya dan mengambil lauk atas meja. Jangan
berdoa! Jangan pernah!! Orang sepertimu tak layak untuk berdoa. Tapi toh
ia melipat tangannya dan bergumam pada Tuhannya.
Bab III
“Lagi?” desahku beberapa saat kemudian. Namun lelaki itu hanya mengeluh
dan memejamkan matanya. Sekejap. Tak satupun kata keluar dari bibirnya
saat ia mengecup buah dadaku. Bangsat. Sampai kapan kamu melakukan ini?
Lelaki itu mengatupkan telapak tangannya dan meremas buah dadaku. Satu
hal yang sudah kuketahui pasti saat itu. Ia masih menginginkannya. Dan
sekarang ia sudah mengangkat daster tidurku dan berusaha melepaskan
pengait bra-ku. Ah. mungkin aku semakin gila kalau aku terus menikmati
hal ini.
Pelacur.
Mungkin aku seorang pelacur, karena ternyata aku mulai menikmati semua
sentuhan yang menggetarkan pori-pori di tubuhku. Aku merasakan setiap
getaran saat lidahnya menyentuh dan menelusuri kulit leherku, puting
payudaraku, perutku. Dan bahkan aku menggelinjang saat jemarinya menari
di atas lekukan-lekukan tubuhku. Bekas luka itu. Ia menyentuhnya. Iblis.
Untuk apa kamu menangis? Kurasakan dada telanjangku dibasahi oleh air
mata yang menetes dari pipinya. Masih ingatkah kamu akan dosa? Tapi
kenapa kamu tidak berhenti? Malah sekarang menarik celana dalamku
menelusuri paha dan betisku? Sebejat itukah dirimu?
Pelacur.
Mungkin aku seorang pelacur karena ternyata kemaluanku basah di luar
kehendakku. Mungkin hanya pelacur yang merasa terangsang tanpa perasaan
sedikitpun. Mungkin pula hanya pelacur yang membiarkan tubuh lelaki
manapun berkutat di atasnya tanpa ekpresi apapun.
Perut gendutnya menindihku, membuatku semakin susah bernafas, batang
penisnya bergerak-gerak di dalamku, menusuk dan menekan, meninggalkan
semburat panas dari selangkanganku. Bangsat itu memakai kondom. Dan
kesadaran itu membuatku semakin ketakutan. Bukankah ia akan semakin
leluasa terhadapku? Dan sekarang ia akan dapat melakukannya tanpa beban
resiko yang selalu membayangi.
Dan bahkan kini aku sudah tidak menangis lagi. Kebencian dan rasa muak
membuatku seakan lupa untuk menangis. Kupejamkan mataku, kugigit bibir
bawahku, menunggu sengatan itu datang menghampiriku dan menjalari
saraf-sarafku.
“Ahgg..” Lelaki itu mengerang dan mengejang.
Tak ada semburan yang kurasakan. Namun tetap getaran dan sengatan yang sama.
Aku seorang pelacur.
Karena aku menikmatinya.
Tanpa ekspresi.
*
Kututupi ketelanjanganku dengan selimut. Akhirnya air mata ini keluar
juga. Bantal ini mulai terasa lembab. Beberapa saat kemudian kududukkan
tubuhku dan mengambil sebuah buku biru kecil dari dalam laci. Kupandangi
buku kecil itu dan merasakan air mata kembali menetes di pipiku. Sudah
lama sejak terakhir aku menuliskan kata hatiku di buku ini. Batinku
ingin membuka dan menuliskan lagi beberapa patah kata. Namun benakku
menyadari ketidakhidupannya. Menyadari kekonyolanku, karena aku sekarang
bertarung dengan kehidupan, dan sesuatu yang mati takkan menolongku.
Kumasukkan lagi buku itu ke dalam laci setelah menghela nafas dalam-dalam.singgah
Tapi aku tak bertarung sendirian.
Sahabatku dan kekasihku. Kalian hidup dalam hatiku.
Selamanya. Kau dan dia.
Kukecup cincin emas di jari manisku sebelum melangkah menuju kamar
mandi. Setidaknya aku harus membersihkan dosa-dosa yang tersisa dari
tubuhku.
Sampai kapan?
Entahlah.
Bab IV
Jadi pagi ini terasa begitu indah. Matahari bersinar lembut dan
memberikanku nafas baru. Hatiku sedikit lega, karena iblis itu akan
pergi seminggu lamanya. Bahkan Mbok Ijah terdengar bersiul-siul dari
dapur. Apakah karena hawa setan itu sudah tidak menaungi rumah ini lagi?
Memikirkannya membuatku sedikit tersenyum. Ya. Aku harus bisa tersenyum
hari ini. Karena pagi ini terasa begitu indah.
Kupandangi orang-orang yang lalu lalang di jalan. Sekejap keinginan
untuk bermasyarakat dan kuliah seperti pemudi sebayaku mengusik. Namun
aku tidak ingin menghancurkan pagi ini. Jadi kukembangkan senyumku dan
berusaha meyakinkan diriku bahwa yang ada di luar istana emas ini adalah
sebuah dunia yang mungkin lebih menyakitkan.
*
Kubiarkan air dingin membasuh otak dan hatiku. Kugosokkaan spons itu
perlahan di sekujur kulit tubuhku, kunikmati setiap kesegaran yang bisa
kurasakan. Dalam pikiranku melayang-layang sosok kekasihku.
Sedang apa kau di sana, Sayang?
Apakah kau sedang bercanda bersama para bidadari?
Bagaimana mungkin kamu tidak menanti kedatanganku?
Aku cemburu. Tapi…..
Apakah engkau yang saat ini ada di sini menemaniku. Dan batang
penismukah yang sekarang memenuhi rongga kewanitaanku? Bukan gagang
gayung yang keras dan kaku?
“Ahh….” desahan demi desahan keluar dari bibirku.
Hey, sejak kapan aku merusak diriku sendiri? Cepat-cepat kukeluarkan
gagang gayung itu sebelum kemaluanku disobeknya. Tapi kenikmatan dan
keinginan itu masih ada. Dan alangkah pelacur-nya aku seandainya detik
ini aku menginginkan iblis itu menyentuh dan menggagahiku.
Kukeringkan tubuhku dan bergegas melangkah keluar dari kamar mandi.
Pori-poriku mengencang saat angin dingin menerpa ketelanjanganku. Dingin
yang menyegarkan dan menyapu sebagian dari hasrat yang berkecamuk.l
“Mengapa begini sunyi? Ke mana Mbok Ijah? Belanja?”
Kusisiri helai demi helai rambut yang menghiasi kepalaku di depan kaca
sambil mengagumi diriku sendiri. Alangkah cantiknya aku. Dan alangkah
kotornya aku.
Tertawa sinis adalah pujian terbaik yang bisa kuberikan pada diriku
sendiri akhir-akhir ini. Kututupi tubuhku dengan pakaian seadanya,
membiarkan payudaraku tanpa bra, karena keinginan dan hasrat itu masih
ada. Dan aku merasa seksi dengan sehelai kain menutupi tubuhku.
Kupandangi lagi diriku di depan cermin, menikmati puting susu yang
terbayang dari balik kaus tipis yang kukenakan.
Alangkah seksinya aku. Dan aku tertawa sinis. Lagi.
“Bikin puding,” desisku setelah puas mencemooh diriku.
Kesibukan mungkin perlu di pagi yang indah ini.
Kubuka pintu kamar.
Dan tangan-tangan itu merenggutku dengan kasar.
Bab V
“Jadi ini dianya.”
Kedua lengan itu mendorong tubuhku dan menghempaskannya ke atas tempat
tidur. “Siapa kamu!” dan histeriaku justru membuat lelaki itu tersenyum.
Matanya yang menyipit menatapku dan lidahnya menjilat sedikit air liur
yang menetes ke dagunya.
“Luar biasa cantiknya. Sungguh luar biasa.”
Dan apakah itu menjadi alasanmu untuk menamparku dan merenggut kaus yanng menutupi tubuhku??
“Jangan….”
Tapi apakah ia akan merasa iba lalu mendadak memelukku dan menangis
bersamaku? Tentu tidak setelah melihat ketelanjanganku. Tangannya
bergerak dan giginya yang dingin menyentuh kulit buah dadaku. Lututnya
menekan kakiku, tubuhnya terasa begitu berat, sehingga setiap rontaanku
terasa begitu sia-sia.
“Tolong. Jangan lakukan ini.”
Tangisan itupun terasa begitu percuma saat mulutnya menghisap puting
payudaraku dan memberikan rasa perih di dadaku. Tangannya menahan kedua
lenganku di atas kepala. Dengan kasar lelaki itu menyusupkan jemarinya
ke balik celana pendekku dan menekan kemaluanku, membuatnya basah tanpa
kehendakku.
“Ya Tuhan, kamu benar-benar menikmatinya.”
Lelaki itu merenggut pula sisa-sisa penutup ketelanjanganku, jemarinya
menusuk dan memainkan liang kemaluanku, membuatku merintih dan
menggelinjang.
Siapapun di atas sana. Ijinkan aku melalui semua ini.
Dan segalanya menjadi gelap.
*
“Kondom….”
“Ayo…hati-hati….”
“Cepaaat…aku…..”
Gumam demi gumam menyusup di telingaku. Tanganku begitu tak berdaya
dengan tali-tali ini. Dan pantatku terasa empuk dengan bantal yang
menyangganya. Empuk dan sakit, saat penis-penis itu bergerak-gerak
memenuhi kewanitaanku. Satu dan lainnya. Silih berganti. Begitu cepat.
Begitu menyakitkan.
Gelap dan terang silih berganti.
Gigitan dan jilatan, cakaran dan remasan. Erangan dan rintihan kenikmatan. Juga gelap dan terang.
Silih berganti.
Tolong aku.
Siapapun.
*
“Hutang?” desisku sambil meraba pergelangan tangaku yang memerah.
Mungkin apabila aku tidak setegang tadi, aku bisa melepaskan tali-tali
ini dengan mudah. Tapi orang-orang itu sudah pergi. Tentu saja setelah
mereka merasa puas dan bosan.
Kurasa pagi ini tidak seindah yang kubayangkan. Tidak dengan
kondom-kondom yang berserakan di lantai. Tidak dengan seprei yang basah
di bawahku. Tidak dengan sperma yang mengering di bekas luka di perutku.
Kuhampiri tubuh yang meringkuk di sudut kamar.
Kubelai rambut adikku dengan jemariku, mengharapkannya untuk sejenak sadar dari khayalannya dan memeluk tubuhku.
“Ah, Thomas. Apa yang sudah kaulakukan?”
Kududukkan tubuhku di sebelahnya dan mendekapnya dalam dadaku. Aku masih
ingat tangisnya saat jatuh dari pohon, saat anak-anak desa
mempermainkannya. Dan saat-saat itu aku selalu ada dan memeluknya.
Memberikannya perlindungan sejauh apa yang bisa kuberikan padanya. Dan
kini.
Lindungi aku, Thomas.
Jangan siksa aku. Jangan lagi.
Dan kubiarkan diriku terlelap memeluknya.
Adikku yang sangat kusayangi. Satu-satunya.
Bab VI
Salah jika aku harus merasa aman. Salah jika aku merasa mereka puas
setelah mencicipi tubuhku. Mereka datang lagi. Setelah adikku memutuskan
untuk menebus obatnya dengan tubuh kakaknya.
“Jangan kembali lagi,” desisku lirih sambil memejamkan mata.
“Tentu saja. Kalau sudah lunas.”
Seringainya membuatku mual. Lelaki terakhir itu mengecup puting
payudaraku sebelum mengangkat tindihan tubuhnya dan melangkah keluar
tanpa mengenakan sehelai benangpun di telanjangnya.
Kupandang langit-langit kamar beberapa saat lamanya. Segala kejadian
melintas di benakku. Begitu cepat. Aku menikmatinya juga. Karena aku
seorang pelacur. Pelacur jelita yang begitu memuaskan.
Kuraih buku kecil itu dari dalam laci dan melangkah menuju cermin.
Kubiarkan tubuhku meliuk dan kusibakkan rambutku yang basah oleh
keringat. Aku seperti seorang artis telenovela perayu yang sering
kusaksikan di TV.
Dan aku kembali mengagumi sosok di dalam cermin.
Gila kamu, umpatku kagum. Masih bertahan.
Tentu saja. Karena kamu seorang pelacur. Kamu menikmatinya.
Demi segala sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku.
Kubiarkan kepalsuan itu hilang seiring air mata yang mengalir di pipiku.
Ini bukan tangisan, sebab tiada isak yang keluar dari bibirku. Tanpa
ekspresi lain selain senyuman sinis.
Kupeluk buku kecil itu di dadaku dan kukecup cincin emas di jari manisku. Lembut penuh perasaan. Kupejamkan mataku.
CHAPTER TWO
Bab I
“Kamu menginginkannya bukan, Thomas?”
Mata pemuda itu memandangku dengan matanya yang nanar. Mungkin
pertanyaan-pertanyaan yang menerpa batinnya tidak seindah yang
kubayangkan. Barangkali bukan “mengapa” atau “tak mungkin”, barangkali
justru “akhirnya” atau “tentu saja”. Yang pasti ia sekarang tertegun dan
mendelik menatap tubuhku yang hanya terbalut lingerie tipis.
Jadi kudekati dia dan kutempelkan payudaraku di dagunya. Kuangkat
wajahnya, membiarkan nafasnya memburu dan matanya yang nanar semakin
lebar. Kutepis lengannya yang terangkat ke sisi tubuhku. Belum saatnya,
adikku sayang.
“Katakan kamu menginginkannya.”
“Aku…aku….”
Kukecup bibirnya, memainkan rongga mulutnya dengan gerakan lidahku. Ia
menikmatinya, matanya terpejam. Kutepis lagi lengannya yang terangkat.
“Berjanjilah padaku, Thomas.”
Kupegang rahangnya dan menatapkan matanya ke mataku. Kusapu wajahnya dengan hembusan nafasku. Mempesona.
“Jangan ada lagi orang lain selain kita.”
Kudesahkan kata-kata itu di depan bibirnya.
“Ya.”
Dan kata itu cukup untuk membuatku membiarkan kedua lengannya merangkul pinggangku dan membaringkanku ke atas tempat tidur.
*
“Thomas sayang, jangan menangis.”
“Tapi mereka memukuliku.”
“Cup-cup, sayang. Mereka sudah pergi.”
Anak kecil itu menangis dalam dekapanku.
Lemah dan tak berdaya. Dan kulindungi dia dengan jiwa ragaku.
*
Dan kini batinku merintih saat batang penisnya memenuhi liang
kewanitaanku. Kubiarkan tubuhnya menggeliat dan bibirnya menjilati
sekujur tubuhku. Ah adikku sayang, berapa banyakkah pengalamanmu dengan
wanita? Nol besar.
Dan bahkan aku masih sempat bergurau.
“Jangan di dalam.”
Pemuda itu menurut seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.
Mengherankan, mengapa seseorang yang begitu terpengaruh obat-obatan masih mempunyai sepercik rasa sadar?
Ah, sudahlah. Enjoy the trip.
Bab II
Empat hari sudah iblis itu tak pulang ke rumah. Dengan berbagai alasan,
akhirnya aku berhasil mengusir pembantu tua itu keluar dari rumahku. Dan
kini tak ada lagi orang lain. Selain aku dan adikku, kekasihku yang
kusayangi. Dan aku tak ingin repot-repot memasak, karena itu bukan
keahlianku. Kuputuskan untuk lebih sering memesan makanan lewat telepon,
lagipula tidak seberapa jauh dibandingkan dengan masakan Mbok Ijah.
Thomas sudah jarang keluar. Setidaknya apa yang kutawarkan padanya
diterimanya dengan sepenuh hati. Ah. Mungkin kami sama-sama bejatnya.
Tapi aku tak memusingkan hal itu lagi.
Bukankah aku memang sudah tak lagi memiliki perasaan untuk menilai.
Kuajarkan pada Thomas bagaimana cara menggunakan kondom.
Aku tak mau meminum pil KB, karena aku tak ingin tubuh indahku menjadi
rusak karenanya. Thomas merasa girang dengan pelajarannya yang baru, dan
aku bersyukur karena pelajaran demi pelajaran seolah membuatnya sedikit
lupa dengan obat-obatannya.
Dan sejak semula sudah kusadari, segalanya takkan semudah itu.
*
“Pergi kalian!!”
Lelaki-lelaki itu memandang pisau di tanganku dan tertawa bersamaan.
Salah seorang dari mereka menjilat bibirnya dan menatapku penuh nafsu.
“Jangan, ah. Mending kita pergi bobok.”
“Bangsat!” kuayunkan pisau itu dan membuat mereka mundur selangkah.
“Aku sudah memanggil polisi.”
Lelaki yang paling belakang mendengus.
“Awas kalian. Tunggu, Thomas.”
Kututup pintu rapat-rapat begitu mereka melangkah keluar. Kubalikkan
tubuhku dan melangkah menghampiri sosok yang meringkuk di sudut ruangan.
Kubuka lipatan lengannya dan menatap sedih kearah matanya yang lebam
dan bibirnya yang berdarah.
“Cup-cup, sayang. Mereka sudah pergi.”
Dan kudekap kepala yang bergetar itu di dadaku.
Ah, adikku sayang. Kekasihku sayang.
Sama seperti dulu.
Aku masih melindungimu.
Kukecup ubun-ubun kepalanya dan tanpa terasa akupun ikut menangis.
Bab III
Pemuda itu tak menyentuhku lagi setelah kejadian tiga hari yang lalu.
Dan itu sangat melegakanku. Mungkin benar bahwa lecutan yang menyakitkan
mampu membawa cahaya kembali dari kegelapannya.
Thomas lebih sering menemaniku melalui hari-hariku dengan membiarkan
kepalaku di dekapannya. Sebagaimana seharusnya seorang saudara laki-laki
terhadap kakak perempuannya.
Di saat-saat itu kusadari, bahwa akupun tidak sekuat yang kuduga.
Thomas berjanji takkan memakai obat-obatan. Dan itu berarti sebuah
kemungkinan bahwa ia takkan berurusan dengan orang-orang jahat itu lagi.
Aku senang. Walaupun akhirnya aku jadi sering bermasturbasi di kamar
mandi daripada melakukan hubungan riil dengan seorang lelaki.
Aku cukup bahagia dengan situasi ini. Dan aku tak ingin ada yang merubahnya.
Tidak bahkan iblis yang menampakkan dirinya kembali.
Hari itu.
*
“Kemana Ijah?”
“Pulang. Sudah bosan, katanya.”
Kuletakkan piranti makan itu di atas meja.
“Hey,” lelaki itu menepuk punggung Thomas, “tidak biasanya sang pangeran sudah ada di rumah.”
Dan yang ditepuk hanya menyeringai sambil melirik ke arahku.
“Makan, Pa.”
Lelaki itu tertawa dan menyendok makanannya. Mungkin ia merasa bahwa aku
yang memasaknya. Yah, sudahlah. Mana ia pernah tahu apa kesibukanku
selama kepergiannya.
*
Jangan! Jangan lihat kemari!
Kugerakkan tanganku mengusir. Namun Thomas tetap berdiri di ambang
pintu. Tubuh lelaki itu semakin liar di atasku, mulutnya mendesahkan
kata-kata kerinduan yang luar biasa menyakitkan. Tangannya
bergerak-gerak di sekujur tubuhku, pinggulnya bergerak naik turun,
menghujam liang kewanitaanku dengan penisnya yang menegang. Air mata
keluar dari mataku.
Jangan lihat ke sini, Thomas.
Kupandangi wajahnya yang tertutup bayang kegelapan.
Apa yang akan dilakukannya. Jangan, sayang. Pergi dari sini.
Lelaki itu semakin liar, gerakannya jauh lebih kasar dari yang sudah-sudah. Kurasakan mataku terpejam dan bibirku tergigit.
“Ahh..ahk..” lelaki itu mengerang tidak jelas.
Kedua lengannya membalikkan tubuhku dan batang penisnya memasuki liang
kemaluanku dari belakang. Kuusahakan untuk melirik sekali lagi ke arah
pintu. Dan ia masih di sana. Memandang tanpa berkedip.
Pergi! Jangan lihat aku!! Pergi!!!
Isakan keluar dari mulutku.
Lelaki itu menegang, menggigit pundakku dan menyemburkan spermanya di liang kemaluanku. Tanpa kondom. Tidak. Tidak lagi.
Kubuka mataku, dan Thomas sudah tidak di sana lagi.
Kubiarkan lelaki itu menindih tubuhku dan terengah di atasku.
Bab IV
“Aku akan membunuhnya.”
“Jangan!”
Kupegang lengannya dan menariknya dalam pekukanku.
“Jangan lakukan apapun.”
Kulihat bahunya berguncang. Dan kubiarkan adik kecilku menangis di dadaku.
“Maafkan aku, Kak.”
Bahkan sudah sejak dulu kau kumaafkan, adikku sayang.
Tak berapa lama kemudian, kurasakan nafasnya mulai tenang, dan kubelai rambutnya saat kusadari bahwa ia sudah tertidur.
*
Namun sejak saat itu kusadari setiap hawa kematian yang memancar dari
matanya saat menatap laki-laki itu. Sebenarnya aku inginkan hal yang
sama dengannya. Untuk mengakhiri ini semua. Namun aku tak sanggup.
Tangan dan hati ini melarangku. Walau bagaimanapun merekalah keluargaku
yang tersisa. Sejak mama mulai jarang menghubungi kami. Dan aku selalu
berusaha keras meyakinkan Thomas untuk tidak melakukan tindakan-tindakan
bodoh yang bisa menghancurkan sisa-sisa ini. Mungkin itu suatu hal yang
salah menurut orang-orang lain. Tapi bagiku, yang terpenting adalah
bagaimana aku bisa mempertahankan dan memperbaiki segala sesuatu yang
tertinggal di hidupku.
Karena aku telah banyak kehilangan.
*
“Kamu keluar saja malam ini. Tapi jangan nge-drugs. Cari gadis yang bisa
kamu kencani. Karena kamu tampan dan gagah. Karena kamu adikku yang
pasti takkan gagal.”
Kubetulkan kerah kemejanya dan memandang wajahnya yang tampan sambil
tersenyum. Pemuda itu mengusap air yang menitik di ujung matanya.
“Kakak begitu baik.”
Aku baik? Hahahaha. Ironis sekali untuk seorang pelacur.
“Tidak juga,” senyumku sambil mengecup dagunya.
“Dia. Dia akan melakukannya lagi?”
Sudah pasti.
“Sudahlah, nanti kamu terlambat pergi ke pesta.”
Thomas berbalik, namun ia menoleh kembali dan menggapai lenganku. “Kakak ikut.”
“Hush. Jangan seperti anak kecil.”
Thomas mengerenyitkan alisnya, lalu mengecup bibirku.
Kali ini tanpa nafsu yang membayang di matanya.
Hanya seberkas kasih sayang dalam getaran bibirnya.
“Aku sayang kamu.”
“Aku juga.”
Sejak kapan aku terakhir mengatakan sayang yang begini tulusnya.
Ah. Steve. Sudah lama sekali bukan?
Kugigiti cincin di jari manisku saat adikku melangkah keluar.
*
Kuangkat lengan lelaki itu dari tubuhku dan melangkah keluar untuk
menyambut adikku. Kulihat jam dan sedikit heran karena baru pukul
setengah sebelas. Pikiranku berkecamuk. Sebuah perasaan aneh menyelinap
ke sel-sel otakku, membuatku merinding dan meremang saat melalui koridor
menuju ke ruang tamu. Suara-suara mengiang memperingatkan.
Jangan buka pintu itu!
Jangan buka pintu itu!
Bab V
“Sudah lama sekali, D.”
Kupeluk tubuh itu dan kubenamkan kepalaku di dadanya. Kubiarkan air mata
dan isak tangis yang selama ini kutahan lepas begitu saja. Tangannya
memelukku dan membelai rambutku.
Alangkah indahnya.
Bibirnya mengecup ubun-ubun kepalaku dan telapak tangannya menepuk punggungku seperti seorang ibu mendiamkan anaknya.
“I miss you. So much.”
“Sshh. Aku di sini untukmu.”
Kuangkat kepalaku dan tersenyum menatapnya. Kuangkat lenganku dan menunjukkan cincin di jari manisku kepadanya.
“Lihat! Bahkan cincin ini masih ada di sini.”
Pemuda tampan itu tertawa dan kulihat air mata mengalir di pipinya.
“Aku tahu. Aku tahu.”
Steve memeluk tubuhku hangat dan mencium bibirku. Kulumat seakan tak ingin melepasnya pergi dari sisiku.
“Steve…ahh….”
Kudesah nafasku saat jemarinya membuka jubah putih yang kukenakan.
Kurasakan dada telanjangnya menempel di kulitku. Aku menikmatinya.
Sungguh-sungguh menikmatinya. Dan kuangkat kakiku di sisi pingangnya,
membiarkan bibirnya menelusuri leherku dan membasahinya.
“Aku merindukanmu, Steve.”
Erangan dan rintihan keluar dari bibirku saat kurasakan batang penis
yang menegang itu memenuhi liang kemaluanku. Tangannya menahan
punggungku untuk tetap berdiri. Pinggulnya bergerak dan memainkan
hasratku yang semakin menggila.
Lengannya membaringkanku di atas rerumputan. Bibirnya mencumbuku dan
merayu tanpa kata-kata, kurasakan dengusan dan helaan nafasnya di
pori-pori kulitku. Penetrasinya membuatku semakin liar dan terbang
bersama sentakan-sentakan tubuhku.
“Do you still love me…”
Kudesahkan pertanyaan itu di sisi kepalanya yang menempel di payudaraku.
Steve mengangkat kepalanya dan tersenyum, sejenak meninggalkan protesku
atas gerakannya yang terhenti.
“Selamanya, D. Selamanya.”
Dan kukecup bibirnya mesra.
Tubuh pemuda itu bergerak di atasku, membuatku semakin terengah dan
berkeringat. Dan kenikmatan ini seakan tiada habis-habisnya, membuatku
mengejang dan mengejang. Berulang-ulang tanpa henti. Dan segalanya
menjadi gelap seiring hentakan tubuh pemuda yang kusayangi.
“Steve?”
Namun semuanya terasa begitu gelap.
Gelap sekali.
Dan aku kembali sendiri di ruangan tanpa batas.
*
“Bertahan, D. Sedikit lagi.”
Orang-orang berjubah putih itu. Thomas? Pergi, Sayang! Mereka mencarimu!~~”Hon…
Plafon-plafon yang memutih di atas mataku.
Rasa perih di punggung dan selangkanganku.
Mana Papa?
“Siapa yang berbuat ini…..”
“Bangsat-bangsat itu……”
“Ini sekarang urusan kami….mohon….”
Steve? Di mana kamu, Sayang?
Bab VI
Surabaya, awal 2001
Angin berhembus lembut menyibak rambutku. Kulirikkan mataku pada pemuda
yang berdiri di sebelahku. Kerutan di wajahnya membuatnya semakin mirip
dengan iblis itu sendiri. Namun satu hal yang membedakan, yang berdiri
di sini adalah malaikatku.
“Sudah, D?”
Kugerakkan bola mataku, dan memandang untuk yang terakhir kalinya ke arah nisan di hadapanku.
Ah, semuanya berakhir sungguh jauh dari dugaanku.
Untungnya polisi-polisi masih sigap untuk menangkap bangsat-bangsat itu.
Yah, setidaknya bangsat-bangsat pengedar narkoba itu berhasil
menyelesaikan permasalahanku. Walaupun untuk itu aku harus rela
melepaskan kebebasanku sebagai seorang mahluk hidup normal dengan luka
di tulang punggung yang melumpuhkanku.
Selamat tingal, Pa.
Semua sudah beres sekarang.
Thomas mengusap air mata yang mengalir lagi di pipiku.
Kurasakan kursi roda yang kunaiki bergerak menjauh.
Ya. Aku ingin menjauh dari segalanya ini.
Kulihat mama bersama Oom Frans menunggu di kejauhan.
Seandainya aku bisa menghambur ke pelukannya, dan mengatakan betapa
girangnya aku untuk kembali berkumpul bersama dan berkeluarga. Aku perlu
banyak penyesuaian dengan Oom Frans, begitu pula Thomas. Namun kurasa
itu suatu hal yang ringan, karena pandangan mata Oom Frans jauh berbeda
dari pandangan iblis itu. Ah. Maafkan aku, Pa. Mungkin aku masih terlalu
trauma untuk memanggilmu Papa.
Enjoy the hell, Dad.
Kulirik cincin emas yang melingkar di jari manisku.
I will survive just for him.
Wait for me, Steve.
Sagabor, I love you.
Dan kenyataan kisah ini tersimpan dalam diri dua anak manusia. Aku dan
adikku Thomas. Aku percaya bahwa suatu hari nanti akan ada seseorang
yang memperbaiki sisi-sisi terkoyak dalam kehidupan kami.
Seandainya Tuhan memang ada.
Biarlah Ia yang mengurus sisanya.